We Are All Ibrahim, and Each of Us Has an ‘Ismail’

Mina, 10 Dzulhijjah
Matahari membakar lembah Mina. Sebuah pisau berkilau tajam dan dingin sedang digenggam oleh tangan yang bergetar. Di hadapanya, terbaring seorang anak — dada yang masih naik-turun lembut, mata yang memancarkan ketulusan. Udara bergetar dalam bisu yang memecah langit. Di ujung jurang iman, seorang ayah mengangkat senjata untuk merenggut nyawa darah dagingnya sendiri.
Salah satu momen paling paradoks dalam sejarah manusia. Nabi Ibrahim sand kekasih Allah, berdiri diambang pembunuhan atas anak yang dinantikannya begitu lama sampai puluhan tahun. Ismail, sang putra mahkota justru tersenyum lembut dan bahagia, “Laksanakanlah, Ayah. Aku adalah korban cintamu kepada Yang Maha Kuasa.”
Waktu itu pisau yang digenggam bukan sekedar besi, tetapi ujian dari langit dibarengi dengan pertanyaan tegas — “Sejauh mana kau sanggup mencinta-Ku?”. Di ujung tajamnya mata pisau itu terdapat dua sisi antara kematian dan kehiduoan, antara naluri keayahan dan kesetiaan ilahiah — sebuah konflik yang merobek relung jiwa sedalam-dalamnya. Lembah itu menjadi panggung kosmis. Malaikat-malaikat membeku, Waktu terhenti, Langit menahan napas, dan ketika pisau menyentuh leher Ismail, bukan darah yang tumpah, melainkan air mata langit yang turun mengguyur bumi. Seekor domba turun dari cahaya menggantikan pengorbanan yang tak sempat diselesaikan.

File:Makkah Province Saudi Arabia — panoramio (2).jpg — Wikimedia Commons
Maka, di tanah gersang tersebut lahir sebuah ritual abadi: Qurban Idul Adha. Bukan sekedar penyembelihan hewan, melainkan sebuah drama antara hamba dengan tuhannya, tentang pengorbanan yang lebiuh besar dari hidup, lebih kuat dari kemarian dan lebih mulia dari segalanya. Setiap tetes darah hewan qurban adalah gema dari pisau yang tak jadi menebas leher Ismail yang menjadikan pengingat bahwa pengorbanan sejati bukanlah kematian, melainkan keberanian menyembelih “diri” demi sesuatu yang lebih tinggi dan cinta kepada ilahi

Darah yang Tak Sampai ke Langit
Al-Qur’an tegas mengingatkan:
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin. (QS. Al-Hajj: 37)
Pemahaman penulis, hewan kurban hanyalah simbol. Esensi sejati adalah “penyembelihan metaforis” atas sifat serakah, egoisme, dan keangkuhan sosial. Kurban dramatis yang mengabaikan aspek ini ibarat panggung kosong — indah dipamerkan, hampa makna.
Akhir,
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan sekadar cerita lama. Ia adalah blueprint pengorbanan lintas zaman. Setiap generasi punya “Mina”-nya sendiri, tempat di mana kita diuji untuk memilih: tunduk pada ego, atau taat kepada Tuhan.